Rabu, 24 Juni 2009

Masalah Ambalat Dalam Sudut Pandang UNCLOS

Pembicaraan mengenai Ambalat tidak lepas dari dua peristiwa penting. Pertama, insiden tabrakan KRI Kedung Naga dengan KD Rencong Malaysia di wilayah Ambalat pada April 2005 silam, yang sempat memicu kekhawatiran akan terjadinya perang terbatas Indonesia-Malaysia di kawasan Ambalat. Kedua, pemberian konsesi eksplorasi blok ND6 dan ND7 oleh perusahaan migas nasional Malaysia (Petronas) kepada Royal Dutch/Shell Group pada 16 Februari 2005, yang tumpang tindih dengan wilayah eksplorasi Blok Ambalat dan Ambalat Timur yang dieksplorasi ENI dan Unocal atas konsesi dari Indonesia. Kedua peristiwa tersebut telah membuat "tenar" nama Ambalat bagi sebagian besar masyarakat Indonesia dan menyulut sentimen anti Malaysia, yang sering diplesetkan dengan nama "Malingsia".
Penting diketahui, Ambalat bukan merupakan sebuah pulau. Ambalat adalah blok dasar laut/landas kontinen dengan luas 15.235 km persegi dan terletak 80 mil dari lepas pantai Kalimantan Timur, di kedalaman 2,5 km perairan Laut Sulawesi. Blok Ambalat terletak dalam ZEE Indonesia, di mana terdapat hak berdaulat (sovereign rights) Indonesia untuk mengelola sumber daya alam (SDA) yang terkandung di dalamnya.
Menurut UNCLOS, Zona Maritim terbagi atas beberapa zona dengan pengaturan dan hak yang berbeda. Zona Teritorial atau Laut Wilayah adalah zona maritim yang ditarik sejauh 12 mil laut dari garis pangkal (baseline). Dalam kasus Indonesia, garis pangkal yang digunakan adalah garis pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic baseline), yang merupakan hak Indonesia sebagai archipelagic state (negara kepulauan). Dalam Zona Teritorial ini berlaku yurisdiksi hukum nasional, seperti yang berlaku di wilayah daratan negara pantai secara penuh.
Selanjutnya adalah Zona Tambahan, yang ditarik 24 mil laut dari garis pangkal (baseline). Dalam zona ini berlaku hukum nasional negara pantai secara terbatas, meliputi kesehatan, fiskal, imigrasi dan bea cukai. Selain kedua zona tersebut terdapat, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang ditarik sejauh 200 mil laut dari garis pangkal (baseline). Di luar Zona Teritorial berlaku sovereign rights (hak berdaulat) negara pantai untuk mengelola SDA di wilayah tersebut. Namun, kapal dan pesawat asing tetap diperbolehkan berlayar dan terbang melintas di atas ZEE.
Wilayah di dasar laut (landas kontinen) memiliki pengaturan tersendiri. Negara pantai berhak atas wilayah landas kontinennya, yang dianggap kelanjutan alamiah dari wilayah daratannya, sejauh minimal 200 mil laut dan maksimal 350 mil laut. Di landas kontinen ini negara pantai berhak mengelola SDA yang terkandung di dalamnya, misalnya penambangan Migas.
Jika terdapat dua negara yang berhadapan dan berpotensi terjadi tumpang tindih klaim. Negara yang berhadapan tersebut harus melakukan perundingan untuk menentukan batas-batas klaim masing-masing. Proses ini disebut delimitasi (penentuan batas-batas). Dalam kaitan ini, Indonesia dan Singapura telah menyelesaikan proses delimitasi batas maritim di segmen Barat Selat Malaka baru-baru ini.
Pembicaraan mengenai Ambalat, seringkali dikait-kaitkan dengan Pulau Sipadan dan Ligitan yang telah menjadi milik Malaysia, dengan putusan Mahkamah Internasional (MI) pada tahun 2002 silam. Sebagai catatan, MI memberikan Pulau Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia atas dasar effective ocupation (penguasaan efektif), yang dilakukan Inggris (penjajah Malaysia) atas kedua pulau tersebut, yakni berupa pemberlakuan aturan perlindungan satwa burung, pungutan pajak atas pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930 dan pengoperasian mercu suar sejak 1960-an untuk keselamatan pelayaran dan navigasi. Namun dalam kaitan ini, MI menolak kegiatan pariwisata yang gencar dilakukan Malaysia di wilayah tersebut sejak tahun 1990-an dan chain of tittle (rangkaian kepemilikan) dari Sultan Sulu sebagai dasar kepemilikan Malaysia atas Sipadan dan Ligitan.
Letak Pulau Sipadan dan Ligitan di Utara Laut Sulawesi menimbulkan spekulasi kemungkinan Malaysia dapat mengklaim kepemilikan zona maritim di wilayah perairan Laut Sulawesi (di mana blok Ambalat berada). Namun spekulasi ini tidak dapat dibenarkan, mengingat Malaysia adalah negara pantai biasa, dan bukan negara kepulauan. Sehingga Malaysia hanya berhak menarik garis pangkal dari daratan utamanya di Sabah. Jadi, kepemilikan Malaysia atas Sipadan dan Ligitan tidak perlu menjadi acuan dalam penyelesaian masalah Ambalat. Karena Sipadan dan Ligitan hanya berhak memiliki Laut Teritorial sejauh 12 mil laut dari garis pangkal (baseline) pulau-pulau tersebut.
Persoalan sesungguhnya muncul sejak tahun 1979, tiga tahun sebelum UNCLOS disahkan oleh negara-negara anggota PBB sebagai dasar pengaturan hukum laut internasional. Pada waktu itu, Malaysia menerbitkan peta 1979 yang diprotes oleh negara-negara tetangganya, termasuk Indonesia pada tahun 1980. Malaysia yang telah meratifikasi UNCLOS, tidak pernah mengoreksi peta 1979, justru selalu mengklaim diri sebagai negara kepulauan (archipelagic state). Dalam operasional aparatnya di lapangan, Malaysia selalu berpedoman pada peta 1979, yang tentu saja sering menimbulkan persinggungan dengan aparat keamanan negara-negara tetangganya.
Sejatinya, menurut UNCLOS, dalam hal terdapat dua negara berhadapan dan terdapat klaim tumpang tindih landas kontinen dan ZEE, negara-negara tersebut harus berunding untuk menentukan batas-batas klaim masing-masing negara. Dalam hal penetapan batas kontinen, pasal 83 UNCLOS menyatakan "Penetapan garis batas landas kontinen antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan harus dilakukan dengan persetujuan mereka berdasarkan hukum internasional, sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, untuk mencapai penyelesaian yang adil." Ketentuan yang sama juga diterapkan dalam hal penetapan batas ZEE. Pasal 74 UNCLOS menyatakan "Penetapan ZEE antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan harus dilakukan dengan persetujuan mereka berdasarkan hukum internasional, sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, untuk mencapai penyelesaian yang adil." Dalam hal Ambalat, perundingan delimitasi batas maritim Indonesia-Malaysia telah dilakukan sebanyak 13 kali dan belum mencapai titik temu.
Ketentuan UNCLOS yang mengharuskan negara pantai saling berunding dalam hal terjadi klaim tumpang tindih ini juga terdapat dalam hukum nasional Indonesia. Pasal 6 ayat (3) UU No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara menyatakan "Penetapan batas wilayah negara dilakukan melalui perjanjian bilateral dan/atau trilateral apabila terdapat dua atau tiga negara yang menyatakan pengakuan atas wilayah yang sama ataupun adanya kemungkinan tumpang tindih pengakuan atas wilayah yang sama." UU No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen dalam Pasal 3 menyatakan "Dalam hal landas kontinen Indonesia, termasuk depresi-depresi yang terdapat di landas kontinen Indonesia, berbatasan dengan negara lain, penetapan garis batas landas kontinen dengan negara lain dilakukan dengan cara mengadakan perundingan untuk mencapai suatu persetujuan". Maksud yang sama juga ditegaskan dalam UU No. 5 Tahun 1983 tentang ZEE, yang menyatakan "Apabila ZEE Indonesia tumpang tindih dengan ZEE negara-negara yang pantainya saling berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia, maka batas ZEE antara Indonesia dengan negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara RI dan negara yang bersangkutan." Mengacu pada hal ini, penggunaan kekuatan bersenjata untuk mengklaim sebuah wilayah, merupakan opsi terakhir.
Dalam kasus Ambalat, meskipun klaim Indonesia kuat berdasarkan ketentuan UNCLOS dan fakta empiris di lapangan (mengacu pada pemberian konsesi kepada perusahaan minyak asing di wilayah Ambalat yang tidak pernah diprotes Malaysia), kehadiran unsur patroli TNI AL tetap diperlukan dalam rangka mempertahankan "naval presence" atau kehadiran AL kita di wilayah Ambalat untuk menunjukkan "keberadaan" kita pada dunia internasional. Hal ini merupakan dukungan kuat terhadap proses perundingan yang sedang dilakukan.

Selasa, 23 Juni 2009

Hal Ikwal Keblingeran Peninjauan Kembali (PK) : Kasus Djoko Tjandra

Hari-hari terakhir ini, media massa ramai dengan berita kaburnya terpidana Bank Bali Djoko Tjandra. Menarik dicermati pernyataan OC Kaligis, ketua tim pengacara DT yang berniat mengajukan PK kedua. Kita tentu maklum dan mahfum, PK kedua pada azasnya tidak dibenarkan UU, tengok saja Pasal 23 ayat (2) UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, "terhadap putusan PK tidak dapat dilakukan PK". Juga pasal 268 ayat (3) KUHAP "permintaan PK atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja". Memang MA pernah memeriksa PK kedua dalam kasus Mochtar Pakpahan dan Gandhi Memorial School, yang saat itu diajukan oleh Jaksa. Karena tekanan dunia internasional, MA juga memeriksa PK kedua perkara Tibo cs. Tercatat juga PK kedua perkara Amrozi cs, juga pernah diperiksa MA karena tekanan tokoh-tokoh Islam radikal.
Menggelikan memang, mana itu kegagahan hukum yang memiliki adangium yang terkenal, bahkan dipakai oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) sebagai mottonya : "fiat justicia et ruat caelum/fiat justicia et pereat mundus? (keadilan harus ditegakkan meskipun dunia/langit runtuh). Celakanya, seperti kita ketahui terdapat azas hukum "stare decisis et quieta non movere" atau singkatnya kita kenal dengan istilah jurispridensi. Hakim terikat pada putusan hakim terdahulu. Agaknya, inilah dasar pemberlakuan PK kedua. Jadilah "keblingeran" ini terus dipertahankan. Padahal semestinya, "keblingeran" hukum itu bisa saja dikoreksi dengan fatwa MA, misalnya. Jangan sampai orang buta menuntun orang buta, begitu kira-kira.
Bukankah ada asas hukum "Res judicata pro veritate habeteur" (putusan harus dianggap benar sampai ada putusan lain yang mengoreksinya) lalu kenapa tidak dikoreksi? Ditambah lagi, kacaunya sistem hukum acara kita di mana PK bisa diajukan Jaksa. Bukankah jelas dalam pasal 263 ayat (1) KUHAP, PK adalah hak terpidana atau ahli warisnya? Pada azasnya PK merupakan upaya pamungkas terpidana yang terancam kehilangan kebebasannya untuk membela diri. Tapi akhir-akhir ini memang berkembang paham bahwa PK dapat saja diajukan oleh Jaksa, dengan mengacu pada pasal 263 ayat (3) KUHAP, "....terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan PK apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan". Pasal ini jelas dimaksudkan untuk Jaksa, tak mungkin terpidana cari penyakit dengan meminta pemidanaan. Ada peribahasa "ulo marani gebug" (ular mendatangi pukulan).
Hal yang sama diakomodir dalam UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer Pasal 248 ayat (3) dengan tambahan "Oditur", sehingga rumusannya jadi "....terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Oditur dapat mengajukan permintaan PK apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan." Pasal 23 UU Kekuasaan Kehakiman juga dapat ditafsirkan memberi ruang untuk itu dengan menyebut "terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan PK kepada MA....." Pihak-pihak yang bersangkutan ini ditafsirkan sebagai terpidana (keluarganya) dan Jaksa.
Sejatinya, PK diajukan Jaksa sah-sah saja kalau maksudnya untuk kepentingan terpidana. Pasal 84 Statute of International Criminal Court juga mengatur hal itu, yang memberi hak prosecutor melakukan PK "on the person's behalf". Di sini tegas diakui bahwa PK adalah hak terpidana, untuk mengoreksi putusan hakim yang mungkin salah karena fakta hukum di persidangan yang salah. PK pun selayaknya dilakukan apabila terdapat novum atau bukti baru. Bukan semata-mata untuk mengulur-ulur eksekusi putusan dalam hal vonis mati.
Setiap mahasiswa Fakultas Hukum pasti pernah belajar adangium ini : lebih baik membebaskan 100 orang bersalah daripada menghukum 1 orang tidak bersalah. Jika Jaksa memiliki kewenangan PK, kita rasanya jadi haus menghukum. Padahal hukum sejatinya diciptakan untuk melindungi kepentingan masyarakat (hominum causa omne ius constitutum est). Bukan semata-mata untuk menghukum. Hukuman adalah obat terakhir, istilahnya "ultimate remedium".
Tentu saja saya tidak ada bermaksud membela DT , hemat saya mari kita tegakkan hukum dengan aturan yang elegan, terhormat dan mulia. Jangan ada lagi kesan seperti hukum rimba. Sekarang mungkin DT, bisa-bisa besok anda, iya kan? Untuk itu keprofesionalan setiap aparat hukum dan pendidikan hukum sejak seorang juris masih ada di fakultas sangat perlu ditekankan.
Semoga sistem hukum kita akan menjadi lebih baik. Semoga