Selasa, 23 Juni 2009

Hal Ikwal Keblingeran Peninjauan Kembali (PK) : Kasus Djoko Tjandra

Hari-hari terakhir ini, media massa ramai dengan berita kaburnya terpidana Bank Bali Djoko Tjandra. Menarik dicermati pernyataan OC Kaligis, ketua tim pengacara DT yang berniat mengajukan PK kedua. Kita tentu maklum dan mahfum, PK kedua pada azasnya tidak dibenarkan UU, tengok saja Pasal 23 ayat (2) UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, "terhadap putusan PK tidak dapat dilakukan PK". Juga pasal 268 ayat (3) KUHAP "permintaan PK atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja". Memang MA pernah memeriksa PK kedua dalam kasus Mochtar Pakpahan dan Gandhi Memorial School, yang saat itu diajukan oleh Jaksa. Karena tekanan dunia internasional, MA juga memeriksa PK kedua perkara Tibo cs. Tercatat juga PK kedua perkara Amrozi cs, juga pernah diperiksa MA karena tekanan tokoh-tokoh Islam radikal.
Menggelikan memang, mana itu kegagahan hukum yang memiliki adangium yang terkenal, bahkan dipakai oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) sebagai mottonya : "fiat justicia et ruat caelum/fiat justicia et pereat mundus? (keadilan harus ditegakkan meskipun dunia/langit runtuh). Celakanya, seperti kita ketahui terdapat azas hukum "stare decisis et quieta non movere" atau singkatnya kita kenal dengan istilah jurispridensi. Hakim terikat pada putusan hakim terdahulu. Agaknya, inilah dasar pemberlakuan PK kedua. Jadilah "keblingeran" ini terus dipertahankan. Padahal semestinya, "keblingeran" hukum itu bisa saja dikoreksi dengan fatwa MA, misalnya. Jangan sampai orang buta menuntun orang buta, begitu kira-kira.
Bukankah ada asas hukum "Res judicata pro veritate habeteur" (putusan harus dianggap benar sampai ada putusan lain yang mengoreksinya) lalu kenapa tidak dikoreksi? Ditambah lagi, kacaunya sistem hukum acara kita di mana PK bisa diajukan Jaksa. Bukankah jelas dalam pasal 263 ayat (1) KUHAP, PK adalah hak terpidana atau ahli warisnya? Pada azasnya PK merupakan upaya pamungkas terpidana yang terancam kehilangan kebebasannya untuk membela diri. Tapi akhir-akhir ini memang berkembang paham bahwa PK dapat saja diajukan oleh Jaksa, dengan mengacu pada pasal 263 ayat (3) KUHAP, "....terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan PK apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan". Pasal ini jelas dimaksudkan untuk Jaksa, tak mungkin terpidana cari penyakit dengan meminta pemidanaan. Ada peribahasa "ulo marani gebug" (ular mendatangi pukulan).
Hal yang sama diakomodir dalam UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer Pasal 248 ayat (3) dengan tambahan "Oditur", sehingga rumusannya jadi "....terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Oditur dapat mengajukan permintaan PK apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan." Pasal 23 UU Kekuasaan Kehakiman juga dapat ditafsirkan memberi ruang untuk itu dengan menyebut "terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan PK kepada MA....." Pihak-pihak yang bersangkutan ini ditafsirkan sebagai terpidana (keluarganya) dan Jaksa.
Sejatinya, PK diajukan Jaksa sah-sah saja kalau maksudnya untuk kepentingan terpidana. Pasal 84 Statute of International Criminal Court juga mengatur hal itu, yang memberi hak prosecutor melakukan PK "on the person's behalf". Di sini tegas diakui bahwa PK adalah hak terpidana, untuk mengoreksi putusan hakim yang mungkin salah karena fakta hukum di persidangan yang salah. PK pun selayaknya dilakukan apabila terdapat novum atau bukti baru. Bukan semata-mata untuk mengulur-ulur eksekusi putusan dalam hal vonis mati.
Setiap mahasiswa Fakultas Hukum pasti pernah belajar adangium ini : lebih baik membebaskan 100 orang bersalah daripada menghukum 1 orang tidak bersalah. Jika Jaksa memiliki kewenangan PK, kita rasanya jadi haus menghukum. Padahal hukum sejatinya diciptakan untuk melindungi kepentingan masyarakat (hominum causa omne ius constitutum est). Bukan semata-mata untuk menghukum. Hukuman adalah obat terakhir, istilahnya "ultimate remedium".
Tentu saja saya tidak ada bermaksud membela DT , hemat saya mari kita tegakkan hukum dengan aturan yang elegan, terhormat dan mulia. Jangan ada lagi kesan seperti hukum rimba. Sekarang mungkin DT, bisa-bisa besok anda, iya kan? Untuk itu keprofesionalan setiap aparat hukum dan pendidikan hukum sejak seorang juris masih ada di fakultas sangat perlu ditekankan.
Semoga sistem hukum kita akan menjadi lebih baik. Semoga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar